cucu kh abdul hamid pasuruan
Yakni Abdul Wahid Zain, yang merupakan cucu dari Ketua Umum PBNU periode pertama (1926-1928) Hasan Sagipodin (Hasan Gipo), kemudian Yusuf Husni, yang merupakan putra dari Kiai Syakir, anggota Laskar Hizbullah. KH Abdul Hamid dari Pasuruan, KH Zubair Sarang Rembang, KH Bisri Syansuri pendiri Ponpes Denanyar, serta KH Abdullah Abas Buntet
ManfaatASO, Stafsus Menkominfo Jelaskan soal Penghematan Frekuensi hingga Konten Kreatif 29 April 2022 - 10:04
pasuruanl kh gus muhamad lukman cucu dari (alm) kh abdul hamid atau mbah hamid yang kondang dipanggil kh hamid pasuruhan adalah tokoh ulama pengasuh pondok pesantren sidogiri pasuruan, beliau adalah gus muhamad lukman cucu kh hamid pasuruan, mengabdikan dirinya dalam pengembangan agama islam dan juga memiliki rasa
PertemuanKH Hamid bersama KH Mohammad Hasan Genggong. Menu. Terbaru Daftar Kanal ngopiNEWS ngopiDAERAH Nasional gowesBARENG ngopiANALISIS Politik ngopiTAINMENT ngopiBOLA ngajiBARENG Ngopibareng Pasuruan Perhubungan ngopiSPORT PUPR sapaDOKTER ngopiTECH Daftar Kanal ngopiNEWS ngopiDAERAH Nasional gowesBARENG ngopiANALISIS Politik ngopiTAINMENT ngopiBOLA ngajiBARENG Ngopibareng
KH Abdul Hamid Chidir, Ketua PC. Pergunu, Ketua Majlis Madrsah Pontren Ashri Jember, PP Ash-Shiddiqi Putri Talangsari Jember, Sabtu 16 Januari 2021 mertua dari Habib Taufiq Assegaf Pasuruan . 243. KH. Abdul Halim Zawawi, Pengasuh Ponpes Yanbu'ul Ulum, Lumpur Losari Brebers, Sabtu 26 Desember 2020, pukul 20.05. 242. KH. Faqih Sibaweh
Define Single Source Shortest Path Problem. Pasuruan, NU Online Jatim KH Muhammad Nailurrochman atau Gus Amak menyampaikan testimoni sosok KH Abdul Hamid Pasuruan saat Haul Masayikh bulanan yang dilaksanakan Layanan Digital untuk Nahdliyin Kamis 30/12/2021. Gus Amak merupakan salah satu cucu dari KH Abdul Hamid Pasuruan. Dalam kesempatan itu, Gus Amak menjelaskan bahwa auliya merupakan orang-orang yang berhasil mencintai Allah sekaligus dicintai Allah. “Kita untuk menunjukkan bukti cinta pada Allah saja masih sulit, apalagi mendapat respons cinta dari Allah. Maka orang-orang yang sudah dicintai Allah ini adalah sebuah maqom yang luar biasa dan butuh perjuangan mendapatkannya,” tutur Gus Amak. Lebih lanjut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan tersebut mengatakan, Kiai Hamid merupakan sosok yang sederhana. Hal ini berdasarkan pengakuan salah satu santri Kiai Hamid, KH Ihsan Ketintang Malang. “Saya pernah sowan ke beliau Kiai Ihsan. Beliau itu buka puasa hanya dengan makan telur setengah matang, kurma, dan kopi. Saat tanya mengapa tidak berbuka dengan nasi, beliau menjawab seperti itulah cara berbuka Kiai Hamid,” ujar Kepala Pesantren Bayt Al-Hikmah Kota Pasuruan tersebut. Menurut Gus Amak, sebagaimana dituliskan dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid” karangan KH Hamid Ahmad, ciri khas dari kakeknya itu merupakan seorang yang sangat tawadhu serta alim baik secara ilmu syari`at, maupun kanuragan. “Saya menyebut dua hal ini bersandingan karena kadang seseorang yang alim itu sulit tawadhu. Ini suatu pelajaran penting bahwa tawadhu dan kehebatan itu bisa berjalan beriringan,” katanya. Disampaikannya, kitab karangan Kiai Hamid yaitu Sullam At-Taufiq telah mendapat pujian dari KH Sahal Mahfudz. Kemampuan mengarang nadham dalam kitab, merepresentasikan keilmuan Kiai Hamid dalam menguasai kitab Juman kitab balaghah. Selain itu, keistimewaan lainnya adalah keistiqamahan untuk shalat berjamaah dan mengkhatamkan Al-Qur`an setiap sepekan sekali. Hal tersebut diceritakan langsung oleh KH Idris Hamid, ayah Gus Amak. “Keistiqamahan lainnya adalah membaca surah Al-fatihah 100 kali sehari. Saya mendapat cerita dari santri beliau yang langsung mendapat ijazah ini bahwasanya yang melanggengkan membacanya, maka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tersembunyi,” terang Gus Amak. Sebagai tamu undangan, Gus Amak mengaku sangat mendukung adanya kegiatan haul masayikh bulanan ini. Sebab, haul yang disesuaikan bulan wafat para ulama sekaligus mengulas biografinya menjadikan masyarakat semakin mengenal kiai-kiai nusantara.
KH. Abdul Hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Beliau adalah Kyai asal Pasuruan Jawa Timur Sejak kecil sekitar 12-13 tahun, Ayahandanya mengirimkan ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Di pondok tersebut Hamid hanya mengeyam pendidikanya satu setengah tahun, kemudian beliau pindah ke Pondok Tremas, Pacitan, Pondok yang di asuh oleh KH. Dimyathi. KH Abdul Hamid adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Kyai Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. Sehari-hari, Hamid kecil jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Bahkan, Hamid kecil bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi itu. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Baca juga “Biografi Kyai Maimun Zubair.” Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Baca juga “Biografi Gus Baha.” Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Kisah Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pengasuh Pondok Pesantren Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir pengasuh Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat. Hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru. Akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Berkat perkembangan pondok pesantren yang di asuh oleh beliau, akhirnya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Pesantren beliau terkenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah KH. Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar , Pasuruan Jawa Timur Indonesia Dalam sebuah ceramahnya Gus Baha pernah menyapaikan beliau adalah salah satu kyai yang ikhlas. Biografi Singkat Nama KH. Abdul HamidLahir 22 November 1914 4 Muharram 1333 HWafat 25 Desember 1985 9 Rabiul Awwal 1403 HIstri NafisahNama Ayah KH. Abdullah bin KH. UmarNama Ibu Nyai Raihanah binti KH. Shiddiq Pendidikan Pondok Pesantren Talangsari, Jember;Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;Pondok Pesantren Termas, Pacitan, pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Sumber
Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Pendidikan Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. “Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. “Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pages 1 2 3
- KH Abdul Hamid Pasuruan atau kerap disapa Mbah Hamid, adalah seorang ulama dari Rembang, Jawa Tengah. Meski lahir di Rembang, ia menghabiskan hidupnya di Pasuruan, Jawa Timur hingga dikenal sebagai KH Abdul Hamid Pasuruan. KH Abdul Hamid adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah di dikenal sebagai sosok ulama yang sangat sabar, KH Abdul Hamid juga dipercaya memiliki karomah wali. Berikut biografi singkat KH Abdul Hamid Pasuruan. Baca juga Biografi Gus Miek, Ulama yang Memiliki Karomah WaliMemiliki nama asli Abdul Mu'thi KH Abdul Hamid lahir pada 22 November 1914 di Desa Sumber Girang, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dengan nama Abdul Mu'thi, dan kerap dipanggil dengan "dul" saja. Ketika kecil, KH Abdul belajar mengaji kepada dua ulama besar di Lasem, yakni KH Ma'shum dan Kh Baidhawi. Di samping itu, ia memiliki hobi bermain sepak bola, yang sempat membuat sang ayah khawatir karena waktu mengajinya berkurang. Sejak kecil KH Abdul diyakini menunjukkan tanda-tanda sebagai wali atau kekasih Allah karena memiliki banyak karomah atau kelebihan yang sulit dijangkau akal.
Pasuruan, – Penggurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan menggelar Konferensi Cabang Konfercab ke – IX. Acara ini berlangsung selama dua hari, Sabtu dan Minggu 1-2 Februari 2020 di Pesantren Terpadu Bayt Al Hikmah, Bugulkidul, Kota hasil Konfercab ke – IX ini, KH Nailur Rohman atau yang akrab disapa Gus Amak, cucu Mbah KH Abdul Hamid Pasuruan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan Masa Khidmat 2020 – muda NU Pasuruan yang dikenal multitalenta ini, dipilih secara aklamasi oleh ahlul halli wal aqdi ahwa yang berjumlah sebanyak 6 Kiai Amak, dalam acara Konfercab yang dihadiri sekitar 200 peserta tersebut, tim ahwa juga memilih KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rois Syuriyah PCNU Kota seusai acara, Kiai Amak mengatakan bahwa kedepan ia akan fokus pada penguatan organisasi dan konsolidasi. Serta akan berkolaborasi menjalin ke mitraan dengan semua pihak.“Selain itu kami akan memantapkan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Aswaja terutama kepada para penggurus di tingkat ranting. Serta akan melakukan pendekatan kepada para milineal, karena saat ini eranya milineal,” paparnya. ajo/gus.
cucu kh abdul hamid pasuruan